Kamis, 28 April 2011

Lagi, menyoal hukum TAHLILAN.

Oleh. Habib Mundzier Al-Musawwa.

Lagi, TAHLILAN diperdebatkan dan anehnya dari kaum muslimin sendiri yang paling semangat untuk melenyapkannya. Gak tau kenapa. di bawah ini contoh dari argument mereka. padahal mungkin madzhab mereka bukan asy-Syafiiyyah ...

Konon menurut mereka … Imam Asy syafi'i yakni seorang imamnya para ulama, mujtahid muthlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang di negeri kita banyak yang mengakuinya, bermadzhab & mengikuti beliau, padahal dalam kitab monumentalnya dengan tegas beliau berkata "Aku BENCI ma'tam yaitu berkumpul2 di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yg demikian itu akan memperbarui kesedihan" (Al Umm 1/318). kata2 beliau sangat jelas dan tegas tidak bisa di takwil dengan maksud lain" !. Lihat & cobalah perhatikan pernyataan beliau tersebut, baru berkumpul saja sudah di larang, bagaimana jika disertai dengan apa yang dinamakan TAHLILAN ?!.

Imam Ibn Qoyyim Al-Jauzy dalam Zaadul ma'aad jus I/527-528 menegaskan bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dg alasan untuk takziyah dan membaca qur'an untuk mayit adalah bidah yang tidak ada petunjuk dari nabi saw bahkan sahabat menggolongkan perbuatan itu sebagai niyahah / meratap. Dengan demikian, kesimpulan mereka adalah TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM MELAINKAN ADOPSI DARI AGAMA HINDU ... begitulah hujjah mereka.


Padahal inilah penjelasan dari ungkapan yang dilencengkan oleh mereka. Dan padahal kalau kita telisik lebih jauh tentang pemaknaan MA'TAM yang sebenarnya, ia adalah sebuah perkumpulan untuk meratapi dengan tangisan dan menjerit-jerit yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah jika ada keluarga yang meninggal dunia, maka mereka akan membayar para "penangis" untuk meratap dirumah mereka, yaitu semacam adat istiadat mereka seperti itu, dan memang sudah ada orang-orang yang bersedia untuk itu, yakni group penangis yg disewa khusus untuk meratap dirumah duka. Praktik-praktik semacam itu, ini yg tidak disukai oleh Imam Syafi'i, dan beliau mengetahui hal itu buruk, dan pada masa beliau memang masih ada sisanya (tapi hanya sedikit saja), yaitu tidak disertai tangisan dan jeritan tapi hanya disebut PERKUMPULAN DUKA. Namun beliau tidak serta merta menghukuminya HARAM tetapi hanya makruh => dibenci. Ini karena perkumpulan ma'tam sendiri pada masa beliau sudah jauh berbeda dengan praktik ma'tam pada masa jahiliyah.

Dan padahal, kata makruh mempunyai dua pendekatan makna :
1). makruh secara bahasa berarti tidak disukai, dan
2). Makruh secara syari'ah berarti jika dikerjakan tidak berdosa dan jika ditinggalkan berpahala.

karena jika hal-hal yang sedemikian itu haram / terlarang, lalu kenapa beliau dalam pernyataannya hanya dengan statment “membenci”, kenapa tidak dinyatakan sebagai “haram secara mutlak” ?!. Sebab dalam istilah para ahli hadits untuk MENETAPKAN HUKUM itu harus mutlak secara syariah yaitu Haram, makruh, mubah, sunah, wajib, tidak ada istilah benci / tidak disukai / aku suka, semua ini tidak ada dalam fatwa hukum, karena kaedah ushul bahwa semua Imam / Ulama / siapapun tidak berhak memberi pendapat pada suatu hukum dengan berdasarkan PERASAAN.

Dari Aisyah ra. sungguh telah datang seorang laki-laki pada Nabi saw seraya berkata "wahai Rosulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara pastilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rosul menjawab"boleh" (shahih muslim no.1004)

Imam Nawawi berkata "dalam hadis ini menjelaskan bahwa shodaqoh untuk mayit bermanfaat bagi mayit dan pahalanya disampekan pada mayit, demikian menurut ijma ulama, dan demikian pula mereka sepakat atas sampainya doa-doa (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim jus VII/90) maka bila keluarga mayit menyediakan makanan dengan tujuan sedekah maka hal itu sunnah, apalagi diniatkan pahala sedekahnya untuk mayit, maka ini sahih, dan tuan rumah niat juga buat menjamu tamu.

Ucapan para Imam itu hanyalah jatuh pada hukum makruh, seperti ucapan Imam Nawawi bidah GHOIRO MUSTAHIBBAH bid`ah yg tidak disukai. Kalau ini haram maka beliau tidak usah susah-susah memakai kata “Ghoiro mustahibah”, tapi akan langsung ia katakan sebagai “Bid`ah muharomah”. dan bidah inipun jika tuan rumah / keluarga mayit "mengundang orang dengan mengadakan jamuan makan (ittikhaadzuddhiyahah) jelas beda dengan Tahlilan yang bukan mirip jamuan, tapi sekedar ala kadarnya saja.

Dalam syariah yg dinamakan Jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam-macam makanan. Sebagaimana adat Jahiliyah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi, kambing dan mengundang orang-orang terdekat setelah ada kematian.

Dalam alMughny jus II/215. ini yang sering dipotong oleh mereka."Bila mereka (ahli mayit) melakukannya (membuat makanan) karena ada suatu sebab / hajat maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali ada diantara yang hadir ada yang dr pedesaan dan tempat yang jauh dan menginap"

1. Thawus alYamani RA "Sungguh mayit tersulitkan dikubur selama 7 hari, maka sebaiknya mereka memberi makan pada orang-orang selama itu (diriwayatkan oleh alHafidz imam ibn hajar pada Mathlibul Aliyah jus I/199 dengan sanad yang sahih)

2. ketika Umar RA terluka sebelum wafatnya, ia menyuruh shuhaib memimpin sholat,dan memberi makan para tamu selama 3 hari, maka ketika hidangan disajikan, orang-orang tidak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abd muthalib RA (paman Nabi) "wahai hadirin. sungguh telah wafat Rosululloh dan kita makan minum setelahnya, lalu wafat Abu Bakar RA dan kita makan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah pasti, maka makanlah makanan itu". lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan. maka orang-orang pun mengulurkan tangannya dan makan. (Kanzul Ummaal fii Sunanil aqwal wal Af`al jusXIII/309, Thobaqotul kubro li Ibn Saad IV/29, Tarikh Dimasyq XXVI/373, al Makrifah Wattaarikh I/110)

Sedangkan untuk masalah sampai tidaknya pahala bacaan pada mayit, 1). yang mashur adalah tidak sampai, dan 2). yang sahih adalah sampai. Jadi yang masyhur (qaul pertama) adalah doif.

Cukup sekian dulu kalau sekiranya masih kurang jelas, insya Allah masih ada waktu saya tuliskan lagi. “Majlis Rasulullah” by. Habibana Munzir al Musawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan kesan dan pesan yg baik lagi bijak.