Oleh : Dr. Syamsuddin Arief. (Peneliti INSISTS / Dosen Universitas Islam Internasional Malaysia)
Dalam judul suatu buku “Islam versus Kebebasan/Liberalisme” di halaman 58 ada satu subjudul yang menarik bagi saya untuk dibaca, yaitu pada bab kelima “Tiga Makna Kebebasan dalam Islam”.
Benar saja, meski sub judul ini ditulis dengan cukup simpel dan sederhana tetapi di dalamnya banyak miliki ungkapan dari sisi keilmuan yang tinggi dan sarat dengan unsur intrinsik yang beliau bangun dalam penulisannya untuk kita ketahui dan pahami menyoal tentang arti pentingnya suatu kebebasan dengan mengembalikan pemaknaan interpretasi istilah tersebut dalam perspektif islam ... yuk baca ,,,
>>>>>>>>>>>
AKHIR-AKHIR ini kebebasan menjadi lafaz sakti yang senantiasa kita dengar, sekabur apapun maknanya. �� Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya dipahami sebagai padanan kata freedom dan liberty. Artinya keadaan dimana seseorang bebas dari dan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Yang disebut pertama adalah kebebasan negatif, dimana segala bentuk pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun ajaran, dianggap berlawanan dengan kebebasan; manakala yang kedua (‘bebas untuk’) dinamakan kebebasan positif, dimana seseorang boleh menentukan sendiri apa yang ia kerjakan. Demikian menurut Isaiah Berlin dalam Two Concepts of Liberty (1958).
Bagi seorang Muslim, kebebasan mengan-dung tiga makna sekaligus. Pertama, kebebasan identik dengan ‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap orang terlahir sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda kufur, syirik dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian meng-ubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah.
Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang
Islam versus Kebebasan/Liberalisme ~ 59 60 ~ Islam versus Kebebasan/Liberalisme yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan.
Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr): pertama, bebas dari ikatan hukum; kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta‘isa ‘abdu d-dinar’) (Lihat: Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224).
Makna kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. ‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan’ (fa-man sya’a fal-yu’min, wa man sya’a fal-yakfur), firman Allah dalam al-Qur’an (18:29).
Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat (lihat al-Qur’an 17:18-19 dan 42:20). Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban.
Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fi d-din’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thaw‘an) lebih unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela.
Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
Jadi, dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, manakala kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan seyogianya dipandu ilmu dan adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan. Supaya membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam kerangka inilah seorang Muslim memahami firman Allah: ‘Siapa yang me-ngerjakan kebaikan, maka ia telah berbuat baik
untuk dirinya. Sebaliknya, siapa yang berbuat jahat, maka ia berlaku jahat kepada dirinya jua’ (41:46). Maka janganlah kebebasan itu menyebabkan kebablasan.
* * *
saya hanya blogwalking
BalasHapusjika berniat liat blog saya kunjungin balik ya??
dan terimakasii.....
makasih diMas Reza ats kunjungan`y ,,
BalasHapusinSya Allah kpn2 Q mampir diblog U ,,
Waaa.....waaa....waduuuh... rang, tambah sae mawon niki.... Mg tambah jaya....
BalasHapuspondokpesantrenalanwariyah@yahoo.co.id
hehe ,. inSya Allah mudah2an tambah sae.
HapusBagi se ilmune.......
BalasHapuspondokpesantrenalanwariyah@yahoo.co.id